Catatan Halaqah Kebangsaan RMI-NU Tulungagung
KANGIZZA - Sebagaimana informasi yang beredar jauh-jauh hari sebelumnya, bahwa Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) Tulungagung akan menghadirkan Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA dalam acara Halaqah Kebangsaan pada tanggal 12 Agustus 2017 malam di Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ilmi wal ‘Amal Moyoketen, Boyolangu, Tulungagung—atau lebih tepatnya lokasi Ponpes MIA berada di sebelah selatan kantor PCNU Tulungagung. Tentunya sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya dan beberapa rekan-rekan IPNU Trenggalek jika diberikan kesempatan untuk tholabul ‘ilmi, bertatap muka langsung—lebih-lebih dapat mencium tangan salah satu dzurriyah Sunan Gunung Jati ini.
Namun apalah daya, manusia hanya sebatas berusaha dan Allah lah yang menentukan. Seperti yang disampaikan Gus Bagus, Ketua Panitia Halaqah Kebangsaan dalam sambutannya memohon maaf kepada hadirin, Kyai Said berhalangan hadir memenuhi undangan panitia dikarenakan beliau sedang gerah di Banjarmasin. Selanjutnya dalam halaqah ini beliau kyai Said akan digantikan oleh KH. Marzuki Mustamar, Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur.
Pada kesempatan ini saya akan menuangkan beberapa point yang menjadi catatan saya dalam acara Halaqah Kebangsaan RMI-NU Tulungagung bersama KH. Marzuki Mustamar.
1. Kyai Said Aqil Siradj menjual tanah untuk seminari adalah fitnah
Point pertama yang disampaikan beliau saat mengisi halaqah adalah—klarifikasi beliau atas fitnah-fitnah yang dituduhkan kepada PBNU dan para masyayikh, ulama NU, salah satunya KH Said Aqil Siradj. Beliau menyampaikan bahwa Isu Kyai said terlibat dalam penjualan tanah untuk seminari (tempat pendidikan calon rohaniawan Kristen)—pertama kali dihembuskan oleh orang Malang yang itu tetangga Kyai Marzuki sendiri. Isu ini sebenarnya pertama kali muncul pada waktu sebelum diselenggarakan Muktamar NU di Makasar. Setelah isu ini santer terdengar akhirnya Kyai Said segera dipanggil oleh pihak Lirboyo untuk melakukan tabayyun. Kyai Marzuki menyampaikan, hasil tabayyun Lirboyo dengan Kyai Said—tidak benar jika beliau (Kyai Said) terlibat dalam penjualan tanah Seminari di Malang tersebut. Pasalnya transaksi penjualan tanah terjadi pada tahun 1982, sedangkan Kyai Said baru diboyong Gus Dur ke Indonesia baru tahun 1994.Kejadian sebenarnya berdasarkan penjelasan dari Kyai Marzuki—bahwa tanah yang diisukan tersebut sesungguhnya adalah milik H. Muslimin. Ada pihak Seminari yang ingin membeli tanah tersebut, namun terang—oleh H. Muslimin ditolak. Lanjut cerita Kyai Marzuki, kemudian datang seorang wak kaji dari Pasuruan yang berniat membeli tanah tersebut untuk pembangunan SMP, padahal wak kaji Pasuruan ini adalah orang suruhan dari Seminari Kristen. Karena merasa ada maksud kurang baik dari wak kaji ini, H. Muslimin segera saja mewakafkan tanah tersebut kepada PCNU Malang. Kurang lebih demikian yang disampaikan Kyai Marzuki menjelaskan kronologi isu yang akhirnya menjadi fitnah kepada Kyai Said. Semua Fitnah dan tuduhan-tuduhan tidak mendasar yang dialamatkan kepada Ketum PBNU sudah ditabayyunkan dihadapan para masyayikh seperti Mbah Anwar Mansur, Mbah Idris, Gus Imam dan Kyai Lirboyo yang lainnya.
Pada kesempatan ini pula, Kyai Marzuki mengajak kepada seluruh warga Nahdliyyin yang hadir untuk ber-khusnudzan kepada Ulama-Ulama NU. Kyai Marzuki juga menyindir kelompok-kelompok yang mencoba menggugat Pimpinan PBNU dengan ungkapan “Guru-guru Kyai Said wes ridho, opo sampean rumongso luweh pinter, luweh alim ketimbang Mbah Idris Lirboyo?”. Disamping itu, beliau juga menyampaikan kalau sekarang juga banyak orang-orang NU yang mencoba memecah belah dengan mengatakan “Aku NU ne mbah Hasyim, dudu NU ne Kyai Said, Gus Dur seng liberal”. Padahal seperti kita ketahui bersama bahwa penetapan Rais dan Syuriah PBNU menggunakan sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang terdiri dari para kyai-kyai khas NU. Kemudian Kyai Marzuki kembali melontarkan sindirian-sindirian serupa seperti di atas.
Berkaitan dengan hal itu, Kyai Marzuki berpesan dengan mengutip salah satu nadzham dari ‘Imrithi, “idzil fata hasba’ tiqoodihi rufi’, wa kullu man lam yantaqid lam yantafi’”. Yang kurang lebih bermakna—setiap murid yang memiliki cita-cita tinggi tetapi tidak yakin kepada gurunya, maka ia tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Di sini kita dapat menggaris bawahi, agar ilmu kita bermanfaat maka menjadi konsekuensi kita untuk ber-khusnudzon kepada guru-guru kita. Jangan sampai ada warga NU lebih percaya dengan orang diluar NU, apalagi percaya dengan mereka yang terindikasi wahabi.
2. Kontroversi Gus Dur
Yang kedua, mengenai fitnah-fitnah yang selama ini dialamatkan kepada Gus Dur. Sebagaimana diterangkan Kyai Marzuki, seringkali Gus Dur melakukan langkah-langkah yang dianggap kontroversial, terutama di kalangan NU sendiri. Salah satu contoh ketika Gus Dur merangkul Romo Mangun yang melakukan gerakan kristenisasi di Jogja. Tentu sebagai muslim kita akan geram melihat apa yang dilakukan Gus Dur jika tidak mengetahui latar belakangnya. Kyai Marzuki menjelaskan, sesungguhnya ada strategi dibalik itu semua. Intinya—dengan merangkul Romo Mangun justru dilakukan Gus Dur untuk menghentikan kristenisasi. Kok bisa? Tentu ini pertanyaan yang muncul kemudian. Jawabannya adalah sebagaimana diterangkan Kyai Marzuki, dengan dekatnya Gus Dur dengan Romo Mangun—ketika ada pembagian sembako murah, pengobatan gratis atau semacamnya pasti akan mengajak Gus Dur. Pada titik itulah justru yang menjadi keuntungan Gus Dur, karena Romo Mangun tidak akan punya kesempatan untuk melakukan ceramah-ceramah kristenisasinya.Kemudian kontroversi Gus Dur mengenai legalisasi agama Kong Hu Cu sebagai agama resmi di Indonesia dan Hari Imlek dijadikan hari libur nasional saat beliau menjadi Presiden ke-4 RI. Sesungguhnya apa yang dilakukan Gus Dur sarat dengan strategi dan trik untuk melindungi sesama muslim yang menjadi minoritas di suatu wilayah. Di masa sebelum kepemimpinan Gus Dur sebagai Presiden, Muslim yang ada di negeri China mendapatkan tindakan diskriminatif dari pemerintah setempat. Bentuk diskriminatif tersebut diwujudkan dengan pelarangan Muslim China untuk menunaikan ibadah haji. Ketika Gus Dur ngopeni masyarakat Kong Hu Cu yang ada di Indonesia, maka Gus Dur sebenarnya sedang membuka upaya diplomatis kepada pemerintah China agar memberikan hak-hak masyarakat muslim di sana. Jadi dapat ditarik kesimpulan, Gus Dur sesungguhnya sedang menyelamatkan peradaban masyarakat muslim di dunia yang kebetulan berada di wilayah minoritas, bukan mendukung kristenisasi seperti yang selama ini dituduhkan.
3. Wahabi adalah penghancur Islam
Ketiga, point tentang konspirasi global yang ditujukan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Upaya penghancuran oleh musuh-musuh diluar Islam dengan cara membentuk sekte tersendiri dengan label Islam untuk menyamarkan identitas mereka sebenarnya. Berdasarkan keterangan Kyai Marzuki Mustamar, musuh-musuh Islam ini membentuk sekte Wahabi yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Padahal pendiri wahabi ini adalah murid dari antek-antek penjajah Inggris yang bernama Jefri Hampher. Maka kamuflase yang dilakukan ini—tidak jarang membuat beberapa masyarakat muslim tertipu—tertipu dengan penampilan ontanya, sampai-sampai tidak lagi percaya dengan kyai nya sendiri. Kemudian beliau (Kyai Marzuki) mengutip sebuah hadits “Abghadul ‘Ibaadi ilaallah, tsaubahul an’biyai wa ‘amaluhu jabbaalin”, hamba yang paling dibenci Allah adalah hamba yang penampilannya seperti nabi, tetapi amalnya seperti orang pegununungan (bar-bar, jauh dari peradaban). Pada point ketiga, kita dapat mengambil sebuah pelajaran, bahwa untuk tidak gampang percaya kepada suatu hal dari penampilannya saja, tidak hanya melihat dari bungkusnya saja, tetapi harus melihat isi (substansi).4. Pancasila sudah Final, NKRI Harga Mati
Point keempat, bahwa Pancasila sebagai dasar negara sudah final dan tidak perlu dipertentangkan lagi dengan agama. Masih keterangan Kyai Marzuki, dulu kyai-kyai NU seperti kyai Ahmad Shidiq dan Kyai As’ad sudah menjadi garda terdepan untuk menyetujui Pancasila sebagai dasar negara. Yang dalam perjalanannya—di masa orde baru, Soeharto mewajibkan seluruh elemen masyarakat untuk menerima pancasila sebagai azas tunggal. Pada kesempatan halaqah ini pula, kyai marzuki menjelaskan—nilai-nilai Pancasila ter-representasikan ke dalam salah satu amaliyah NU, yakni tahlilan. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, ini tercermin di dalam lafadz laa ilaaha illa Allah, manifestasi hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah). Sila kedua, Kemanusiaan yang adil beradab, keberadaban ini bisa dilihat dari bagaimana tamu undangan bersikap dan sopan santun dalam berpakaian. Sila ketiga, persatuan Indonesia, tidak ada bentuk diskriminatif—membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain, Kyai Marzuki mencontohkan—yang berstatus pegawai, swasta, kyai, santri, bahkan yang beda agama pun selama dia mau hadir juga turut diundang untuk ikut tahlilan. Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, diterangkan Kyai Marzuki—untuk menentukan imam tahlil tidak diperlukan mekanisme voting sebagaimana yang kita lihat di DPR, semua senantiasa didasarkan pada hasil musyawarah, meskipun masih muda tetapi yang lebih sepuh sudah ridha maka ia layak menjadi imam tahlil. Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, keadilan pada sila kelima ini tercermin dalam pembagian berkat yang merata kepada seluruh undangan tahlil.
5. Peran Nahdliyyin dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Dan point kelima sebagai point terakhir yang saya ingat dan saya tuangkan ke dalam catatan saya ini adalah, penjelasan KH Marzuki Mustamar mengenai tanggung jawab warga Nahdliyyin untuk senantiasa menjaga keamanan NKRI dengan Pancasila-nya. Pancasila lahir atas kesepakatan bangsa Indonesia setelah mengkaji dari semua unsur nilai luhur bangsa yang merdeka dan berdaulat, intinya ini menjadi kesepakatan seluruh elemen bangsa. Sayangnya hasil kesepakatan ini mendapatkan serangan-serangan dari kaum bumi datar dengan mengatakan bahwa negara Indonesia adalah negara thaghut, karena tidak disandarkan langsung kepada Qur’an dan Hadits. Kyai Marzuki kemudian mengajak hadirin untuk membandingkan dengan organisasi yang lain, misalnya Muhammadiyyah, HTI, PKS, Saudi Arabia—organisasi tersebut semuanya berdasarkan kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam AD ART. Nah, apakah mereka tidak thaghut juga jika demikian. Jadi sesungguhnya mengelola sebuah kelompok—misalnya negara yang didasarkan kepada kesepakatan bersama itu diperbolehkan.Di akhir mau’idhzah Kyai Marzuki, beliau mengajak kepada seluruh hadirin warga NU untuk istiqomah menjadi warga NU, menjadi santri yang patuh kepada Kyai, dan NU sampai Mati. Halaqah Kebangsaan RMI-NU Tulungagung berakhir sekitar pukul 00.30 WIB dan ditutup Doa yang dipimpin oleh KH Marzuki Mustamar.
Semoga bermanfaat.