Semangat dan Harapan Diplomasi “Mayoran”
Pemahaman demikian menjadi modal wajib bagi semua organisatoris. Tendensi tentang keorganisasian sebagaimana di atas berkonsekuensi terhadap keberadaan unsur-unsur vital sehingga suatu entitas dapat dikatakan sebagai organisasi. Setidaknya dalam organisasi harus ada tiga unsur—diantaranya, adanya sekumpulan orang, kerjasama, dan adanya tujuan bersama. Ketiga unsur tersebut harus ada sebagai syarat rukun terbentuknya organisasi. Sekumpulan orangnya ada—namun tidak memiliki orientasi yang jelas, maka bisa diibaratkan seperti bus yang tidak tahu terminal mana yang harus dituju. Orang-orangnya ada, tujuan ada—namun tidak ada kerjasama antar individu, maka yang terjadi hanyalah sopir dan kernet yang saling berebutan menyetir angkutan, atau—di antara keduanya berebut untuk tidak menjadi sopir ataupun kernet, atau—bisa jadi sejak awal memang terdapat perbedaan tujuan sehingga kerjasama yang menjadi syarat sebuah organisasi tidak dapat dijalankan.
Kiranya analogi-analogi tersebut menjadi salah satu gambaran problematika yang lumrah terjadi dalam sebuah organisasi. Semakin besar sebuah organisasi maka—sudah menjadi hukum alam—akan terdapat banyak persoalan organisasi yang tentunya dengan kompleksitas yang semakin tinggi pula. Bukan lagi hal yang epik untuk diperbincangkan, persoalan dalam organisasi adalah keniscayaan. Dalam pandangan pribadi—organisasi yang adem ayem justru mengindikasikan tidak adanya dinamika serta menunjukkan stagnasi dari segenap individu di dalamnya. Tidak perlu dibuat rumit atau bahkan meratapi seakan-akan masalah yang terjadi begitu membebani, bagi seorang organisator—realitas semacam itu justru menjadi kawah candradimuka untuk olah rasa, olah pikir, menempa potensi diri menjadi pribadi yang tangguh, tidak pantang menyerah, visioner, dan pribadi yang senantiasa mengalahkan ego pribadi untuk kepentingan organisasi serta kemaslahatan orang-orang di sekitar.
Jum’at, 24 November 2017 saya dan beberapa rekan-rekanita mengadakan acara “Mayoran” di kediaman salah satu rekan di Kecamatan Pule. Bagi beberapa orang—mungkin asing mendengar istilah “Mayoran”. Saya sendiri juga tidak begitu paham jika disuruh menjelaskan asal usul kata nya dari mana dan lain sebagainya—namun istilah Mayoran yang dimaksud di sini adalah semacam ungkapan yang lazim digunakan kalangan santri untuk menunjukkan kegiatan makan bersama dimana makanan yang tersedia adalah hasil olahan/ masakan sendiri. Mulai dari pengumpulan bahan mentah sampai proses mengolahnya dilakukan secara bersama-sama. Di daerah lain tentunya memiliki istilah sendiri.
Agenda yang awalnya direncanakan akan berangkat bersama-sama dari Markas yang berada di Gedung NU Trenggalek pada pukul 16.30 WIB—terpaksa harus molor karena cuaca hujan yang cukup lebat di wilayah Trenggalek. Saya dan rekan-rekanita tetap berangkat ke Pule namun tidak semuanya berangkat bersama dari Gedung NU. Saya dan 5 rekan bertolak lebih dulu dari Gedung NU dan sisanya sekitar 15-an rekan dan rekanita menyusul menuju lokasi acara. Meskipun jam menunjukkan pukul 19.00 WIB ditambah cuaca yang kurang bersahabat—belum lagi medan yang berkelok-kelok, naik turun dan minim penerangan—akan tetapi semua itu tidak menyurutkan niat kami untuk bermuwajjahah, nyambung roso satu sama lain dalam agenda mayoran ini.
Sekitar pukul 20.00 WIB kami (rombongan pertama) sampai di lokasi. Kami kemudian dipersilahkan masuk oleh tuan rumah yang sebenarnya juga rekan kami sendiri. Kemudian kami istirahat, sambil ngobrol ngalor-ngidul, sembari menikmati hangatnya suguhan kopi hitam di tengah guyuran hujan Pule yang saat itu juga tak kunjung reda. Melihat jam yang semakin malam—kami memutuskan untuk memulai acara mayoran lebih dulu sambil menunggu rekan lain yang masih dalam perjalanan. Sebagian rekan menyiapkan bumbu lodhonya, sebagian yang lain lagi pergi ke kandang menangkap ayam yang akan dimasak. Satu ayam kedu dengan bobot sekitar 3,5 kg berhasil ditangkap dan selanjutnya siap untuk di potong. Tidak lama kemudian rombongan kedua sekitar pukul 21.00 WIB tiba di lokasi. Singkat cerita, selama proses memasak lodho ayam ini kami saling membantu agar masakan bisa segera dinikmati. Tanpa disadari selama proses gotong royong masak bersama ini—tercipta suasana keakraban yang menghangat, secara alamiah terjadi interaksi yang tidak hanya lahiriah saja, melainkan secara alamiah batin kami pun terkoneksi.
Pukul 22.00 WIB nasi liwet dan lodho ayam yang kami masak sudah matang dan siap untuk dihidangkan. Tidak memerlukan tempat “wah” untuk hidangan mayoran ini, tidak perlu piring tetapi cukup dengan beberapa leser dan loyang. Satu leser atau loyang digunakan untuk 3-5 orang. Dengan penataan tempat makan semacam ini akan memangkas jarak antara kami—sehingga antara kami tidak ada jarak dan camistry semakin nyambung. Melihat kedekatan yang tercipta ini—tentu menjadi kepuasan tersendiri bagi saya pribadi. Jika dirasakan—dalam diri rekan-rekanita ini tersimpan asa, komitmen, loyalitas, semangat untuk nguri-nguri keberlangsungan serta kebesaran organisasi. Hal ini menunjukkan adanya harapan besar untuk bagaimana organisasi tercinta ini dapat terus menjaga eksistensinya, senantiasa dapat berkontribusi dalam membangun watak generasi muda untuk kejayaan negeri.
Analogi-analogi problematika organisasi yang saya tulis di awal merupakan persoalan klasik dan umum sering terjadi dalam sebuah organisasi. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, asalkan semua mau duduk bersama, berfikir dengan jernih, mengedepankan kebaikan bersama, dan tetap menjadikan tujuan organisasi sebagai pijakan dalam pengambilan kebijakan. Setelah makan bersama—kami pun memanfaatkan waktu untuk berdiplomasi membincang masalah-masalah yang memang menjadi amanah kami. Ketika memasuki forum ini pembicaraan terasa canggung dan tidak mengenakkan—suasana berbeda tidak seperti di awal, karena memang konten yang dibahas agak sensitif. Pun demikian kami berusaha mencarikan alternatif terbaik—dengan ketentuan tetap mengedepankan kemaslahatan bersama dan dicarikan yang paling sedikit madharatnya. Ini semua tidak lain adalah wujud kulminasi semangat dan harapan kami untuk merealisasikan peran organisasi sebagai katalisator pemantik progresifitas generasi muda NU.
Diplomasi kami berakhir pada Sabtu, 25 November 2017 pukul 02.00 WIB dini hari. Kami bermalam di kediaman rekan Pule sembari merapatkan barisan—mencari kehangatan di tengah hawa dingin yang menusuk tulang. Paginya—sekitar pukul 06.00 WIB saya dan rekan-rekanita berpamitan dengan tuan rumah dan pulang—membawa semangat dan harapan baru untuk semakin memperkuat ikatan struktural maupun kultural organisasi.
“Tujuan tercapai dalam jangka panjang melalui upaya, dedikasi, kerja keras dan ketekunan akan mengatasi hampir prasangka apapun dan membuka pintu hampir apapun” - John H. Johnson