Cinta dalam Ketiadaan
Coretan nyampah ini sesungguhnya adalah respon dari tulisan-tulisannya di blog dan medsos miliknya yang ntah harus dinilai seperti apa, bingung untuk mengungkapkannya. Di satu statusnya tertulis suatu ungkapan yang menunjukkan ketegarannya berdamai dengan keadaan, dalam tulisannya yang lain terdapat redaksi yang kurang lebih berbicara tentang kepergian dan mencari pengganti (oh, begitu melekatnya stigma semacam ini dalam pikirannya sehingga perpisahan adalah jalan yang harus kupilih), kemudian—sindiran tentang cinta, kecerdasan, dan kemanusiaan, dan dalam statusnya yang lain ia menuliskan ucapan terima kasih atas kontribusi yang selama ini ia terima. Hmm.... terlihat dinamis, mungkin demikian itu (naik turunnya suasana hati) adalah bagian dari proses sampai ia akhirnya benar-benar berdamai dengan keadaan.
Asumsi-asumsi tak berdasar, parsial, yang terus-menerus didengungkan dalam pikiran tanpa ada klarifikasi dulu hingga mengkristal dianggap sebagai kebenaran—akhirnya kebenaran yang sesungguhnya benar luput dari perhatiannya. Tapi apalah daya, bibir sampai berbusa pun tidak akan mampu membuka ruang pikiran dan hati seseorang yang terlanjur tertutup oleh asumsi-asumsi absurd. Kulminasi kemuakan atas sikapnya tersebut akhirnya memuncak dan “ketiadaan” adalah jawaban yang terbaik.
Terlepas dari itu semua, bahwa kenangan manis yang meskipun masih berumur jagung itu sangat sulit untuk dilupakan. Bagaimana sikapnya yang tegas, sikapnya yang tiba-tiba manja, tiba-tiba menjadi sosok yang begitu dewasa, respon ekstremnya yang mengimbangi, perhatian dan pengertiannya akan kebutuhanku, sekali lagi—begitu sulit untuk diabaikan. Tiada kata yang patut diucapkan selain banyak-banyak terima kasih atas kenangan indah dan manis itu.
Ketika jalan “ketiadaan” ini yang kupilih, sesungguhnya banyak jalan yang bisa kulalui untuk tetap mengetahui bagaimana kesehariannya. Tanpa disangka, ternyata dari ungkapan-ungkapannya bisa dinilai—masih tersimpan rasa tidak terima atas ketiadaan ini, menganggap pengecut yang lari pergi dan mencari pengganti, hmm. Seandainya ada peradilan cinta—mungkin satu gugatan akan kulancarkan kepadanya sampai dirinya malu atas perlakuannya. Namun, bagaimanapun juga persoalan semacam ini tidak patut untuk diperpanjang, sudah tidak ada gunanya lagi.
Jika bersamanya hanya menambah kebodohannya saja, dan aku pun terlihat dungu, Jika bersamanya hanya membuatnya tidak nyaman, dan aku pun juga demikian, maka apa yang kuperoleh jika kebersamaan ini tetap dipaksakan. Lagi-lagi, ketiadaan adalah jawaban terbaik. jika dengan ketiadaan justru dapat membuat dia semakin smart, jika dengan ketiadaan justru dapat membuat dia semakin tercerahkan, mengapa tidak untuk menjalani ketiadaan ini?. Justru di dalam ketiadaan ini terdapat cinta sesungguhnya, cinta yang membawa diriku-dirinya menuju kebaikan. Terlepas dari perasaannya yang demikian, diri ini senantiasa mendoakan yang terbaik untuk dirinya.
"Jaga selalu kesehatanmu, semoga kesuksesan senantiasa menyertaimu. Ketiadaanku, ketiadaanmu, adalah wujud cinta yang sesungguhnya."
Setelah 3 tahun lamanya coretan ini kutulis— akhirnya pun terbukti sebagaimana prediksiku dulu, bahwa menempatkan cinta dalam ruang ketiadaan adalah pilihan terbaik. Faktanya sekarang baik diriku ataupun dirinya sudah memiliki jalan hidup masing-masing. Dia enjoy dengan kehidupannya bersama keluarganya, dan akupun enjoy dengan kehidupanku.
Dari pengalaman ini ada sedikit pelajaran yang bisa diambil bagi teman-teman yang kebetulan mampir ke blog receh saya ini — mengenai arti cinta. Cinta bukanlah hanya sekedar gengsi dikala yang lain memiliki pasangan sedangkan kalian tidak yang akhirnya menggebu-gebu mencari agar memiliki pasangan, atau lebih parah cinta "karena-karena" — karena cantiknya, karena hartanya atau karena-karena lainnya, tentu tidak demikian. Cinta sesungguhnya adalah cinta yang dilandasi rasa tanggungjawab dan ikhlas saling menerima satu sama lain — atau lebih sederhananya cinta yang dibalut dalam suatu ikatan pernikahan, itulah cinta sesungguhnya.