Strategi Menjaga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama
KANGIZZA - Nahdlatul Ulama merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang sudah berdiri sebelum negara Indonesia lahir. Bahkan NU sendiri bisa disebut sebagai “penanam saham” terbesar akan kemerdekaan bangsa ini.
Formulasi tentang Pancasila sebagai ideologi negara misalnya, ideologi yang sarat nilai persatuan, pengikat sesama anak bangsa yang unik dengan keragamannya, dasar negara yang mampu mengakomodir eksistensi perbedaan – NU memiliki andil besar dalam perumusannya.
Dalam sejarah dituliskan, intelektual-intelektual muda dari berbagai kelompok sempat memiliki silang pendapat tentang bagaimana perumusan sila-sila dalam Pancasila. Dari kelompok Islam tertentu menghendaki bentukan negara ini dipertegas identitasnya sebagai negara Islam. Sehingga dalam sila ketuhanan yang sebelumnya dirumuskan oleh KH Wahid Hasyim kemudian berbunyi “Ketuhanan dengan wajib menerapkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Sengitnya perdebatan mengenai sila ketuhanan tersebut, akhirnya membawa Soekarno menghadap Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari untuk ditashihkan. Ringkas cerita, melalui tirakat yang dilakukan oleh beliau, bahwa sila ketuhanan yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sudah sesuai dengan syariat Islam dan bisa diterima oleh segenap elemen bangsa.
Belum lagi kontribusi NU dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, meletusnya 10 November 1945 di Surabaya juga adalah buah dari Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim As’yari.
Begitulah pergerakan NU sebagai jangkar Bangsa, maka tidak mengherankan jika kemudian NU disebut sebagai “penanam saham terbesar” dalam kemerdekaan negara ini.
Nahdlatul Ulama telah melalui berbagai dinamika dalam perjalanan bangsa, mulai era pra kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi sampai era yang kita kenal sebagai era milenial sekarang. Kita bisa melihat sejarah perjalanan NU di era orde baru, begitu kerasnya tindakan represif pemerintahan Soeharto kepada NU dengan segala manuvernya, tetapi kita memiliki tokoh-tokoh NU, sebut saja Gus Dur salah satunya, yang mampu berperan dan mengerahkan segenap pengorbanan sehingga keberadaan “organisasi malati” ini ada sampai sekarang.
Menjaga Nahdlatul Ulama dengan tujuan dan nilai-nilai yang diperjuangkan adalah tanggungjawab segenap warga Nahdliyyin, baik yang berada dalam struktural maupun kultural. Berkaitan dengan hal ini, Gus Zahro Wardi, salah satu Kyai muda NU di Trenggalek, yang juga merupakan pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Sumberingin Karangan, menyampaikan sebuah gagasan tentang bagaimana cara kita menjaga Jam'iyyah Nahdlatul Ulama dengan rumusan “al-Maqashid al-Khamsah ‘ala Muhafadzatil al-Jam’iyyah Nahdlatil ‘Ulama”.
Rumusan tersebut kurang lebih berarti “lima dasar dalam menjaga organisasi Nahdlatul Ulama” yang di dalamnya memuat hal-hal yang kemudian bisa dilakukan oleh segenap warga Nahdliyyin untuk menjaga eksistensi Nahdlatul Ulama.
5 Prinsip Menjaga Organisasi Nahdlatul Ulama
- Dengan ilmu Ahlus Sunnal Wal Jama’ah Annahdliyah
- Menjaga Jam’iyyah (Hifdzul Jam'iyyah)
- Menjaga Jama’ah (Hifdzul Jama'ah)
- Mengamankan aset NU
- Berpolitik sebagai wadah perjuangan
1. Menjaga Nahdlatul Ulama dengan Ilmu Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyyah
Menjadi konsekuensi logis ilmu Aswaja sebagai prasyarat untuk menjaga organisasi Nahdlatul Ulama. Ibarat NU sebagai wadah, isinya adalah ilmu Aswaja.
Kelahiran NU sendiri merupakan wujud reaksi ulama-ulama nusantara dalam merespon kebijakan Arab Saudi yang kala itu dipimpin oleh raja bermadzhab wahabi, Ibnu Saud – yang akan meruntuhkan situs-situs bersejarah, termasuk makam Nabi Muhammad SAW.
Sehingga keberadaan NU sendiri tidak bisa dilepaskan dari eksistensi paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mengajarkan tawasul kepada para nabi, rasul dan orang-orang soleh – maka menjaga situs-situs bersejarah ini adalah keniscayaan untuk diperjuangkan.
Aswaja sebagai ilmu memuat rujukan tentang bagaimana insan NU dalam beraqidah, bersyariat dan bertasawuf. Ketiga aspek tersebut memuat intisari nilai yang lebih dikenal dengan istilah 4T, yakni Tawasuth (moderat), Tawazun (tengah-tengah), Tasammuh (toleransj) dan Ta'adul (keadilan). Keempat nilai inilah yang harus diinternalisasikan ke dalam diri sehingga menjadi karakter warga Nahdliyyin yang lebih lanjut diharapkan mampu mempraktekkannya dalam beragam aspek kehidupan.
2. Menjaga Jam'iyyah (Hifdzul Jam’iyyah)
Menjaga organisasi dalam konteks ini ialah menjaga marwah atau martabat organisasi Nahdlatul Ulama. Tantangan NU tidak hanya bergelut dengan problematika sosial keagamaan di tengah masyarakat, tetapi NU hari ini juga dihadapkan kepada beragam permasalahan di dunia maya, misalnya berita hoax, penggiringan-penggiringan opini yang menyudutkan NU, tindakan SARA yang ditujukan kepada kyai, masyakih, ulama NU dan semacamnya.
Tentu hal tersebut perlu dipahami sebagai perkara yang mengancam NU dan perlu disikapi, pasalnya jika tidak, maka harga diri NU secara organisasi lambat laut akan tereduksi oleh situasi yang menyudutkan.
Maka bagaimana aktivis NU harus bersikap?
Tidak ada sikap yang lebih tepat, selain memenuhi konten positif di jagad maya dengan konten dakwah khas warga nahdliyyin dan yang tidak kalah penting lagi adalah aktivis NU harus pasang badan "jihad jempol" mengcounter narasi-narasi destruktif yang mengancam kyai, ulama, habaib dan NU secara keseluruhan, serta eksistensi negara tercinta ini dengan segala nilai luhur sebagai falsafahnya.
Marwah organisasi NU bisa kita jaga dengan menumbuhkan kesadaran jam'iyyah kepada warga Nahdliyyin untuk memberdayakan potensi lembaga yang ada di NU, LP Ma'arif misalnya. Warga NU dalam aspek pendidikan, harus bangga menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan yang bernaung di bawah LP Ma'arif NU.
Secara keseluruhan, warga NU harus memiliki kesadaran kolektif untuk bersama-sama melaksanakan apa yang menjadi kebijakan organisasi. Kesadaran semacam ini akan menunjukkan seberapa besar Marwah organisasi di mata masyarakat luas.
3. Menjaga Jama'ah (Hifdzul Jama’ah)
Apa yang dijaga?. Point ketiga ini menjelaskan mengenai apa yang sudah menjadi tradisi atau kebiasaan di tengah warga Nahdliyyin secara umum terutama di tataran kultural dapat terus berjalan.
NU sendiri merupakan organisasi sosial keagamaan yang memiliki peran dan tanggungjawab untuk menjaga tradisi atau amaliyah yang selama ini sudah diajarkan para ulama dan kyai terdahulu, seperti tahlil, istighosah, ziarah kubur, berzanjen, dan amalan khas NU lainnya.
Amaliyah diatas sudah umum dilaksanakan oleh warga Nahdliyyin sehingga menjadi kebiasaan warga NU dimanapun mereka berada.
Menjaga amaliyah jama'ah NU di satu sisi memang merupakan peran NU secara organisasi, satu sisi yang lain --- Amaliah-amaliyah ini merupakan salah satu ruh sekaligus spirit berdirinya NU sebagaimana dulu terbentuknya Komite Hijaz yang menentang dibongkarnya makam Nabi Muhammad SAW.
Maka, menjaga Jama'ah NU dengan segala amaliyah kekhasannya sudah tentu menjadi barang wajib untuk dilaksanakan. Jangan sampai ada pelarangan warga NU melaksanakan tahlil, istighotsah, ziarah kubur dan lain sebagainya.
Atau sebaliknya, seandainya di suatu wilayah yang sebetulnya masyarakat notabene NU, tetapi sepi dengan kegiatan-kegiatan khas NU tersebut, maka para aktifis NU harus giat mengajak masyarakat untuk menyemarakkannya lagi.
4. Mengamankan Aset NU
Tidak ada yang membantah, bahwa NU merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Dengan jumlah pengikut yang begitu banyak, potensi dan kapasitas kader yang beragam, ditambah akar sejarah yang jelas dalam kancah pergolakan bangsa ini, tentu NU memiliki aset yang luar biasa banyaknya. Aset berbentuk fisik misalnya, mulai dari masjid, musholla, lembaga pendidikan formal, madrasah diniyah, pesantren dan lain sebagainya adalah wujud NU untuk Khidmah kepada bangsa dan negara ini.
Namun dewasa ini tantangan yang dihadapi NU semakin massif. Dalam beberapa kasus, telah terjadi pengambil-alihan aset yang dimiliki NU oleh organisasi atau kelompok lain. Yang sering menjadi perbincangan adalah pengambil-alihan masjid atau musholla.
Akibat dari kurang kewaspadaan, tanpa disadari media dakwah NU seperti masjid dan musholla bisa jadi menjadi incaran kelompok tertentu yang ingin menguasai. Masjid yang awalnya terdapat bedug dan kentongan yang memang itu bagian dari simbol dakwah NU, bisa jadi hilang karena kita telah teledor memakmurkan masjid, ini jangan sampai terjadi.
Berbicara aset, tentu tidak hanya berupa fisik semata, NU memiliki aset dalam banyak hal, seperti aset kebudayaan, aset politik, aset pendidikan, aset sosial dan banyak hal lainnya. Semua aset ini harus dijaga, jika tidak, hanya kerugian yang akan diterima.
5. Berpolitik Sebagai Wadah Perjuangan
Terkadang bagi sebagian kader NU politik adalah hal yang dihindari. Sikap ini muncul dari dalam diri sebagian kader karena melihat realitas politik di negara ini yang dinilai sarat akan tipu muslihat, belum lagi ditambah mendengar pemberitaan sana-sini yang menunjukkan kelakuan politikus-politikus kotor yang memanfaatkan uang rakyat untuk memperkaya diri.
Sikap semacam itu juga tidak serta merta salah, karena memang realitanya demikian. Namun di sisi lain, kita harus menyadari bahwa pos-pos negara yang diisi oleh insan-insan terbaik NU seperti jadinya Gus Dur sebagai Presiden ke-4 negara ini, KH Ma'ruf Amin yang sekarang menjadi Wakil Presiden, dan yang terbaru Gus Yaqut (Ketum PP GP Ansor) menjadi Menteri Agama adalah buah wahana juang politik untuk mengabdi kepada negara.
Politik itu bukan tujuan, politik adalah alat untuk mencapai suatu kekuasaan. Dengan memiliki kuasa, maka akan memperbesar peluang untuk mengeluarkan kebijakan negara serta peraturan yang tepat.
Ingat, bahwa politik yang dibawa NU adalah politik kebangsaan, bukan politik praktis yang semata-mata hanya untuk meraih jabatan yang kemudian pura-pura "linglung" untuk apa kuasa tersebut.
Apalagi sekarang kelompok kadal gurun juga sedang gencar melakukan gerakan nyata untuk merubah ideologi negara, Pancasila menjadi negara khilafah melalui jalur politik. Tidak perlu disebutkan siapa, tentunya pembaca sudah paham.
Maka sebagai kader NU, kita jangan sampai apatis terhadap realitas politik negeri dewasa ini, boleh lah kita tidak terjun langsung ke dalam dunia politik, tetapi setidaknya kader NU harus melek politik.
Demikianlah rumusan Gus Zahra tentang “al-Maqashid al-Khamsah ‘ala Muhafadzatil al-Jam’iyyah Nahdlatil ‘Ulama” yang coba saya tuliskan dengan bahasa saya sendiri. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Salam.