Saat Ketidakadilan di Depan Mata
Tidak perlu dibaca, karena tulisan ini memang sangat tidak penting bagi Anda, jadi skip artikel yang lainnya saja.
Kata “adil” semakin hari seakan hanya menjadi kamuflase di tengah penindasan. Disupport oleh sistem yang begitu solid, siapa yang berani menentang jika intimidasi sudah berani dengan terang benderang dilakukan?.
Dulu, saat menjalani proses penempaan diri dalam dunia gerakan mahasiswa, perlawanan terhadap penindasan, pembelaan terhadap kelompok mustad’afin selalu digaungkan di telinga, sampai-sampai alam bawah sadar sangat peka terhadap realitas lingkungan yang timpang.
Tidak hanya sekedar peka saja lantas kemudian diam, tetapi – kegelisahan diri itu saya wujudkan dalam bentuk aksi perlawanan atas terjadinya situasi yang menindas.
Itu saya lakukan bersama sahabat-sahabat pergerakan lainnya. Berawal dari menganalisa isu-isu dan wacana yang berkembang pada saat itu, menghitung maslahat dan madharat yang timbul, kemudian berlanjut pembacaan aksi, pengumpulan masa sampai berujung aksi turun jalan untuk menyuarakan keluh kesah, membongkar kebohongan, advokasi kepada kelompok yang ditindas, memberi sinyal kepada penguasa bahwa kami tidak bisa ditipu, kami tidak bisa diintimidasi, kami siap melawan!!!
Kamu Sudah Tidak Idealis Lagi
Kira-kira begitu gambaran masa-masa muda dulu. Kenapa bisa begitu?, Idealisme jawabannya.
Lantas apakah sekarang tidak idealis? Apakah sekarang menjadi orang yang praktis, pragmatis, lebih-lebih oportunis?.
Penilaian terhadap diri seseorang tentu terbatas dengan subyektivitas dari penilai itu sendiri. Pasalnya, ia terbatas dengan cakupan wawasan dan informasi yang dimiliki. Belum lagi dengan paradigma yang ia gunakan. Walhasil apa, ya tergantung, sawang sinawang.
Menjawab pertanyaan di atas, idealisme itu tidak melulu soal perlawanan. Idealisme bisa berwujud ke dalam format yang lebih luas. Jika idealisme diartikan sebagai keberpihakan terhadap kelompok yang lemah, maka perwujudan aksinya ya bisa berbentuk aksi turun jalan, hearing dengan pemangku kebijakan dan semacamnya.
Bagaimana dengan idealisme seorang pekerja? Ini bisa berwujud konsisten terhadap jam kerja, penyelesaian tugas sesuai jadwal yang ditentukan, atau lebih majmuk lagi – idealisme pekerja adalah kepatuhan terhadap kebijakan dan aturan dari pimpinan, selama aturan tersebut memberikan kemaslahatan.
Wong kamu datang tepat waktu saja itu sudah menunjukkan idealisme-mu dalam bekerja kok ...
Kehidupan dalam bermasyarakat menuntut harus adanya sebuah policy, seperangkat aturan − yang kemudian dijadikan sebagai rule agar sebuah sistem bisa berjalan sebagaimana mestinya. Disinilah pentingnya keberadaan suatu aturan.
Bayangkan jika tidak ada aturan? Kehidupan manusia bisa jadi ndak ada bedanya dengan hewan, bebas melakukan apa saja semua yang diinginkan, dan bisa dipastikan ia hanya akan menuruti hawa nafsu.
Aturan Adalah “Kitab Suci”
Tidak hanya dalam konteks beragama saja yang memiliki kitab suci dengan arti yang sesungguhnya, melainkan di dalam konteks yang lain pun kita juga memiliki ‘kitab suci’ -nya.
Misalnya, di dalam berorganisasi, maka kemudian yang dijadikan sebagai kitab sucinya adalah AD-ART, atau dalam kehidupan bernegara, kita memiliki UUD 1945 sebagai pedoman kita sebagai warga negara.
Apabila dari pimpinan sudah menyepakati bersama pihak-pihak terkait lainnya, sampai akhirnya menjadi kebijakan, maka elemen yang ada di bawahnya pun sudah sepatutnya mengikutinya.
Tetapi ya namanya orang banyak, tidak semua memiliki tingkat intelegensi yang sama rendah, tak jarang mereka memiliki intelegensi, keberanian atau barangkali backing yang lebih kuat sehingga berani untuk melanggar kebijakan pimpinan.
Atau dalam bahasa anak zaman sekarang, mereka itu terlalu berlebihan dalam melakukan gimmick .... heuheuheu.
Intinya ... siapapun yang tidak patuh terhadap aturan, dia lah yang patut diragukan integritasnya.
Selebihnya Bukan Tanggungjawab Kami
Sebenarnya dada ini terasa sesak melihat oknum-oknum yang bertindak di luar koridor aturan main yang sudah disepakati bersama. Harapannya ya .... aturan itu monggo dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Wong ya ini kembalinya juga untuk kemaslahatan semuanya, tapi kok ya adaaaa saja yang seenaknya bertindak dengan menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan pribadi. Terlebih mereka yang sesungguhnya memiliki hak penuh atas sedikit rezeki itu tega kalian rampas.
Tidak mengherankan jika kemudian di luar sana banyak opini-opini liar soal kejadian yang secara nyata mereka alami sendiri. Bagi saya ini adalah permainan busuk.
Pun demikian, bukannya saya tidak tahu, kenapa saya tidak bergerak, saya tahu kok. Tapi mau ngomong secara langsung kok nggak enak hati.
Tapi ya tadi itu ... tau kok tahuuu.
Rasanya yak, ingin berteriak sekencang-kencangnya, mendobrak sistem busuk yang berlangsung itu. Tapi ya gimana .... hmmm. Meski begitu kebenaran tetap kebenaran, idealisme pembelaan terhadap kelompok tertindas masih menjadi pedoman, namun dengan cara yang lebih soft.
Melalui apa? Melalui sosialisasi dan edukasi atas aturan yang disepakati. Minimal mereka mengerti mana aturan yang sesungguhnya. Mana yang benar mana yang salah atau malah ada kesengajaan mendistorsi informasi untuk kepentingan pribadi, semua bisa terkuak.
Kalau ada yang bergerak di luar prosedur, itu bukan golongan kami. Selebihnya bukan tanggungjawab kami. Semoga saja ke depan penerapan aturannya bisa lebih tegas.
Chuuuuacks ....