Mie Ayam Pak Nur Brongkah, Idola Kawula Dompet Pas-Pasan
Cita rasa khas mie ayam gerobakan, suwiran ayam bumbu manis, kalau suka acar timun juga bisa request, soalnya buat toping nasi goreng, dan yang pasti nggak bikin dompet meronta-ronta – begitulah sensasinya jika mampir kulineran ke warung Mie Ayam Pak Nur Brongkah.
Sebenarnya sudah lama punya keinginan buat nulis tentang warung mie ayam langganan satu ini, tapi apalah daya, karena banyak sebab, momen untuk ngobrol dengan Pak Nur (pemilik warung) baru datang beberapa waktu kemarin, tepatnya saat bulan Ramadhan.
Kesempatan ngobrol dengan Pak Nur itu datang setelah shalat tarawih. Ntah pada saat itu karena masih lapar atau bagaimana – padahal juga udah buka puasa, pokoknya pengen nggendok mie ayam aja, hitung-hitung udah masuk jam makan malam.
Selepas tarawih saya berangkat dengan mengendarai motor. Sesampainya di lokasi saya langsung memesan satu porsi mie ayam dan segelas es teh, “Pak Nur, mie ayam setunggal”. “Nggeh mas”, jawab ringannya sembari lekas meracik pesanan saya.
Sambil menunggu pesanan, saya berbincang-bincang dengan Pak Nur seputar usaha mie ayam yang sedang dijalankan di depan rumah ini, mumpung belum banyak pelanggan yang datang.
Jualan Mie Ayam Ikut Orang dan Pengalaman Tersesat di Jalan
Pak Nur, begitulah para pelanggan memanggilnya, sesuai dengan nama yang tertulis di banner di halaman depan warung – memulai pengalaman usahanya dengan membuka warung mie ayam bersama salah satu kenalannya di Pakel Tulungagung, sebelum akhirnya buka usaha mie ayam sendiri di rumah yang berlokasi di Kedunglurah Trenggalek.
Ia bercerita, usaha mie ayam yang dijalankan di Tulungagung itu berlangsung sejak tahun 1998, “riyen niku regi mie ayam tasek 500 mas”. Setiap pukul 17.00 WIB ia berangkat menaiki motor sambil membawa bahan-bahan yang dibutuhkan untuk berjualan. Perjalanan dari rumah ke tempat berjualan kurang lebih membutuhkan waktu 30 menit.
Usaha yang dijalankan di Tulungagung ini berjalan kurang lebih selama 5 tahun. Mempertimbangkan karena jarak tempuh yang lumayan jauh dan hal-hal lainnya, akhirnya pria paruh baya ini meminta pendapat istri untuk membuka warung sendiri dan karena ketekunannya itu – usaha jualannya terus berjalan sampai sekarang.
Ada kisah mistis Pak Nur saat menjalankan warungnya di Tulungagung dulu. “kulo niku nate kesasar teng radosan, pas badhe wangsul,” tuturnya mengawali cerita. Sepulang dari warung, saat perjalanan pulang, ia mengaku pernah tersesat di jalan yang ntah itu dimana.
“Pas kulo wangsul niku kok mboten dugi-dugi radosan seng biasane kulo lewati”, tegasnya. Seketika ia menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan apa yang ia alami. Kemudian Pak Nur langsung membaca asmaul husna berulangkali karena saking takutnya.
Tidak berselang lama, tiba-tiba ia tersadar karena ada yang memanggil, “Pak njenengan ki badhe tengpundi? Kulo tingali kawet wau mbolak-mbalek mawon?”, tanya keheranan seorang penjual sompil di pinggir jalan.
“kulo badhe wangsul teng Kedunglurah mriku pak, kawet wau rumaskulo kok mboten dugi-dugi,” jawabnya dengan perasaan agak lega.
Setelah itu, Pak Nur kemudian bisa melanjutkan perjalanan sampai ke rumah meskipun harus ada bumbu-bumbu pengalaman mistis, nyasar ke jalan yang ntah itu dimana. Pasalnya, ia menceritakan kepada saya, keesokan harinya ia mencoba mencari tahu jalan yang tadi malam dilewati, dan hasilnya tidak ditemukan.
Barangkali itu sedikit cerita mistisnya, nanti kalau kepanjangan jadinya jadi artikel cerita horor, muehehe. Kita lanjut ke pengalaman usaha Mie Ayam Pak Nur.
Selain ia sudah memiliki cukup pengalaman saat menjalankan warungnya di Pakel Tulungagung, ia sempat juga belajar kepada salah satu penjual Mie Ayam Bendo, saya lupa namanya. Penjual Mie Ayam ini turut mewarnai perjalanan usaha Mie Ayam Pak nur.
Dulu, Pak Nur sempat diajari bagaimana cara membuat racikan mie ayam dan Nasi Goreng. Kebetulan orang yang mengajari ini berasal dari Wonogiri – yang kita semuanya tahu Wonogiri sangat terkenal dengan mie ayam-nya. Maka tidak mengherankan, jika Mie Ayam Pak nur ini selalu ramai pembeli.
Kira-kira, apa sih yang ditawarkan mie ayam Pak Nur?
Gurih, Nikmat, Kenyang Tanpa Harus Menguras Kantong
Ketika di luar sana banyak tempat-tempat makan modern, mulai dari pujasera, cafe-cafe kekinian yang mengedepankan konsep tempat instagramable, padahal menunya juga biasa-biasa aja – mahal lagi, tapi tidak dengan Mie Ayam Pak Nur.
Kalau saya menggambarkan, gurih, nikmat, kenyang tanpa harus menguras kantong – itulah yang menjadi ciri khas warung mie ayam Pak Nur. Bagaimana tidak? Kita bicara konteks per-mie-ayam-an. Berapa rata-rata harga mie ayam untuk satu porsi?
Kalau di wilayah metropolis biasanya ada di angka RP.12.000, agak ke wilayah pinggir sedikit – turun jadi Rp.10.000, atau paling murah biasanya untuk per porsi mie ayam biasanya dijual dengan harga Rp.7.000.
Berbeda dengan warung mie ayam lain yang biasanya jor-joran porsi dengan harga bervariasi, Pak Nur menawarkan cita rasa gurih mie ayam, porsi yang tidak berlebihan, dengan racikan bumbu yang menurut saya tidak bikin mblenger. Memang soal rasa urusan selera masing-masing sih, tapi tidak salah juga seandainya saya memilih menjadi salah satu penikmat komposisi pas cita rasa dari mie ayam Pak Nur.
Melihat dari tampilan seporsi mie ayam Pak Nur, bisa tergambarkan bagaimana minyak bawang yang membalut setiap buliran mie-nya – yang membuat cita rasa mie lebih gurih.
Penyedap rasa yang tidak terlalu pekat, tidak sampai menghilangkan rasa otentik dari mie-nya, makanya di atas saya katakan racikan bumbu yang pas, porsi juga tidak berlebihan, jadinya nggak bikin blenger.
Yang saya suka lagi, kita bisa meminta tambahan toping berupa acar timun yang bisa menambah kesegaran mie ayam. Bayangkan! Bumbu mie yang gurih, ayam bumbu kecap manis, ditambah acar yang seger, kita kasih tambahan racikan saos, kecap, sambal – sedap deh pokoknya.
Untuk satu porsi mie ayam ini, Pak Nur menjualnya dengan harga Rp.6.000 saja. Bagaimana? Murah kan? Kalau ada warung mie ayam di sekitarmu yang masih pasang harga segini atau di bawahnya lagi – kapan-kapan bisa kita review, kita jadikan artikel “Kumpulan Mie Ayam Murah di Trenggalek”, muehehe.
Oh ya, saya sudah cukup lama menjadi “member” mie ayam-nya Pak Nur. Mengenai harga – jadi dulu sebelum ada pandemi seporsi mie ayam ini bisa kita nikmati hanya dengan mengeluarkan uang 5 ribu saja, kurang murah apa coba. Dimana lagi bisa dapat mie ayam yang representatif tapi dengan harga yang segitu doang.
Barangkali karena faktor pandemi kali yak, akhirnya ada penyesuaian harga dengan menaikkan seribu rupiah dari harga sebelumnya. Pun begitu, harga yang dipatok tetap menjadikan mie ayam-nya Pak Nur layak mendapat predikat mie ayam enak anti kuras kantong.
Selain mie ayam – ada menu lainnya juga lho, Pak Nur juga menjual nasi goreng, nasi goreng mawut, mie goreng dan aneka macam minuman panas maupun dingin. Kalau pas beruntung – soalnya nggak setiap hari buat, kita bisa mencoba gorengannya Pak Nur yang berukuran besar, cocok sebagai pelengkap saat makan mie ayam.
Biar nggak penasaran gimana rasanya, mending kalian langsung aja deh coba sendiri.
Mie Ayam Etan Bangjo Kedunglurah Lor Dalan
Tidak sulit untuk mencari lokasi warung mie ayam Pak Nur. Alamatnya berada di Dusun Brongkah, Desa Kedunglurah, Kabupaten Trenggalek. Jika kalian warga Trenggalek dan sekitarnya, maka tidak asing dengan perempatan lampu merah kedunglurah, atau lebih familiernya bangjo kedunglurah.
Dari perempatan kedunglurah, lurus saja ke timur – arah menuju Kabupaten Tulungagung, kurang lebih 500 meter. Kalian perhatikan sebelah utara jalan, dari deretan warung makan yang ada, yang jualan mie ayam di sekitar situ ya hanya mie ayam Pak Nur saja, jadi mudah mencarinya.
Kalau yang tanya warga nggalekan dan sekitarnya, jawaban lebih mudah begini, “mie ayam etan bangjo Kedunglurah lor dalan”, pasti langsung ngeh.
Warung mie ayam Pak Nur ini buka setiap hari, mulai sore sampai dini hari, sekitar pukul 18.00 WIB sampai pukul 01.00 WIB. Tetapi, untuk jam tutup tidak pasti, kadang warung bisa tutup lebih awal jika stok sudah habis duluan.
Selain menjadi sahabat pelanggannya, Pak Nur ini juga menjadi langganan para santri pondok di sekitar Kedunglurah. Ia sering kali menjadi jujukan santri yang ndandakne nasi dari pondok untuk dijadikan nasi goreng, selama bumbu untuk jualan masih ada.
Mungkin ini salah satu cara Pak Nur bersedekah dan wujud dukungan kepada santri-santri yang sedang mondok, mengingat dulu ia sendiri juga pernah menjadi santri salah satu Pondok Pesantren di Trenggalek.