10 Prinsip Pekerjaan Sosial yang Wajib Dipahami Pekerja Sosial Profesional
Pada prinsipnya, manusia adalah makhluk sosial. Ketergantungan diri terhadap eksistensi di luar dirinya, mendorong seseorang harus peka terhadap realitas di sekitar untuk membantu sesama. Meskipun demikian, pekerjaan-pekerjaan sosial dalam konteks pekerja sosial profesional, tidak semata-mata didasarkan atas pertimbangan nurani belaka, melainkan harus didasarkan prinsip-prinsip yang kemudian menjadi landasan berpikir dan bergerak pekerja sosial untuk memecahkan masalah secara efektif dan efisien. Lantas, apa saja prinsip-prinsip itu? Berikut kami tuliskan 10 prinsip pekerjaan sosial yang wajib dipahami Pekerja Sosial Profesional.
Prinsip-Prinsip Pekerjaan Sosial
- Acceptance
- Non-judgmental attitude
- Client self determination
- Individualization
- Controlled emotional involvement
- Purposeful expression of feelings
- Confidentiality
- Self awarness
- Advocacy
- Accountability
1. Acceptance (Penerimaan)
Artinya, pekerja sosial profesional harus menerima siapapun yang meminta pertolongan kepada dirinya tanpa kemudian melihat suku, ras, agama termasuk apakah permintaan tersebut dari orang yang mampu atau tidak mampu.
Pekerja sosial harus memandang bahwa setiap klien berhak untuk mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial. Nilai penting yang terkandung di dalam prinsip ini adalah adanya bentuk penghargaan atas harkat dan martabat manusia, sehingga pekerja sosial dalam memberikan pelayanan didasarkan pada rasa kepedulian dan hormat kepada klien.
2. Non-judgmental attitude (Sikap tidak menilai dan menghakimi)
Prinsip ini bisa digambarkan dalam contoh berikut. Seandainya ada klien yang merupakan korban KDRT, lantas pekerja sosial menjawab “Ibu memang tidak berbakti kepada suami. Ibu sering berkata kasar kepada suami. Makanya wajar ibu mendapat perlakuan seperti itu”. Pun fakta dilapangan benar berdasarkan assesment, pekerja sosial tidak diperbolehkan bersikap demikian.
Sikap pekerja sosial yang tepat adalah bersahabat dan tidak menghakimi agar tidak melukai perasaan klien.
3. Client self determination (Klien menentukan diri sendiri)
Praktek pekerja sosial dalam prinsip ini yakni mengajak klien berfikir rasional atas permasalahan yang sedang dihadapi. Pekerja sosial menawarkan beberapa alternatif penyelesaian masalah dan memberikan kesempatan kepada klien untuk memilih sendiri alternatif untuk memecahkan masalahnya.
Menyambung dengan contoh kasus pada point 2, penerapan client self determination ini hendaknya pekerja sosial mengajak klien berfikir kembali atas peristiwa yang dialami untuk mencari akar masalah dan solusinya (sesuai dengan nilai yang diyakini, agama misalnya), apakah hak dan kewajiban klien sebagai istri selama ini sudah dilakukan, apakah suami semata-mata melakukan tindakan KDRT tidak ada faktor yang memicunya, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, pekerja sosial memberikan beberapa alternatif penyelesaian masalah disertai penjelasan dampak positif dan negatif dari setiap pilihan, apakah itu diselesaikan dengan cara saling memaafkan dan introspeksi diri, atau mungkin harus sampai ke meja persidangan. Terakhir, biarkan klien menentukan sendiri alternatif penyelesaian masalahnya.
4. Individualization (Individualisasi)
Pekerja sosial harus memandang bahwa manusia adalah makhluk yang unik, baik dari segi pemikiran, perasaan, sikap dan perilakunya. Dengan demikian, pekerja sosial bisa jadi akan menerapkan metode, teknik dan keterampilan yang berbeda kepada satu klien dengan klien lainnya. Oleh karenanya, pekerja sosial harus tepat dalam menentukan metode, teknik dan keterampilan dalam melayani klien untuk menyelesaikan permasalahannya dan hal ini bisa dilakukan setelah melalui proses assessment secara mendalam.
5. Controlled emotional involvement (Melibatkan kontrol emosi)
Prinsip kontrol emosi ini bisa kami contohkan seperti ini, misalnya ada klien meminta pertolongan kepada pekerja sosial agar ia mendapatkan bantuan sosial. Saat klien bercerita, tanpa diduga, ia menampakkan ekspresi sedih, menangis, kecewa dan semacamnya. Lantas pekerja sosial tersebut tanpa disadari terbawa suasana ikut sedih, menangis dan kecewa sebagai respon atas cerita dan situasi klien, maka hal ini bukan sikap profesional.
Hendaknya, pekerja sosial tetap fokus melakukan assesment secara mendalam sebagai upaya pengumpulan data dan informasi dalam menentukan alternatif penyelesaian masalah yang dihadapi klien dengan efektif dan efisien.
6. Purposeful expression of feelings (Mengekspresikan tujuan dan perasaan)
Penerapan prinsip yang berkaitan dengan perasaan ini yakni pekerja sosial hendaknya menunjukkan ekspresi yang wajar sesuai situasi dan kondisi. Misalnya, saat pekerja sosial berinteraksi dengan penerima manfaat, jangan sampai kita menunjukkan ekspresi kurang tepat seperti ceria, apalagi sambil senyum-senyum ketika klien (penerima manfaat) menunjukkan mimik sedih dikala menceritakan permasalahan yang sedang dialami.
Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan pekerja sosial memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaannya, baik itu perasaan sedih, takut, benci, bahagia dan lain sebagainya sehingga bisa sedikit mengurangi beban klien. Harapannya, setelah melalui proses ini, maka akan terjalin hubungan yang lebih intens antara klien dengan peksos.
7. Confidentiality (Kerahasiaan)
Kepercayaan antara klien dan pekerja sosial sangat berkaitan dengan seberapa besar upaya pekerja sosial dalam menjaga kerahasiaan klien. Prinsip kerahasiaan sangat penting dilakukan pekerja sosial agar klien semakin terbuka dalam menceritakan segala sesuatunya pada saat proses assesment.
Kerahasiaan merupakan prinsip etik dimana pekerja sosial dan profesional lainnya tidak boleh menyebarluaskan informasi lain tentang klien tanpa sepengetahuan dan izin yang bersangkutan (Barker, 1987). Meskipun begitu, informasi tentang klien dapat diberikan kepada pekerja sosial dan profesional lainnya yang mempunyai tujuan sama dalam mengakselerasi proses pertolongan kepada klien.
8. Self awareness (Prinsip apa adanya/ mawas diri/ kesadaran diri Pekerja Sosial)
Pekerja sosial harus memawas diri setiap akan atau saat proses memberikan pertolongan kepada klien dalam melihat kemampuan dirinya. Ketika ia mampu menuntaskan layanan tentu tidak ada masalah, namun akan berbeda jika ia merasa tidak bisa menyelesaikan, maka sebaiknya pekerja sosial segera memutuskan kontrak klien dan memberitahukan bahwa klien akan dilimpahkan kepada pekerja sosial lainnya yang sesuai dengan permasalahan klien.
9. Advokasi
Prinsip advokasi penting untuk dipahami dan dilakukan oleh setiap pekerja sosial. Ia harus mampu mengidentifikasi Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang ada di wilayahnya.
Pasalnya, tidak jarang Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) tidak mengetahui adanya sumber-sumber kesejahteraan di sekitar mereka yang bisa diakses. Oleh karenanya, pekerja sosial harus bisa mengidentifikasi dan kemudian mengakses sumber yang ada dalam upaya memberikan pertolongan kepada klien.
Sebagai contoh, misal di sebuah desa banyak anak usia sekolah yang lebih memilih bekerja dan menutup buku pendidikannya cukup sampai tingkat SMP karena alasan himpitan ekonomi. Selanjutnya, pekerja sosial menawarkan dan menghubungkan mereka ke Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) terdekat agar tetap menyelesaikan wajib sekolah 12 tahun dengan mengikuti pendidikan kesetaraan Paket C (SMA).
10. Akuntabilitas
Akuntabilitas berkaitan erat dengan kompetensi dan pertanggungjawaban. Dalam hal ini, seorang pekerja yang melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial harus melalui pendidikan pekerja sosial dan atau setidaknya menjalani pelatihan dasar pekerjaan sosial. Melalui pendidikan dan atau pelatihan tersebut, ia akan dibekali dengan prinsip, nilai, metode dan teknik yang kemudian dapat diaplikasikan dalam praktik profesionalnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klien.
Demikian pembahasan tentang 10 prinsip pekerjaan sosial yang wajib dipahami Pekerja Sosial Profesional, semoga dapat menambah wawasan pembaca, khususnya pekerja sosial profesional.